Beranda | Artikel
Akidah Harus Dipahami Sesuai Dengan Zahir Nash
Kamis, 17 Maret 2022

AKIDAH HARUS DIPAHAMI SESUAI DENGAN ZAHIR NASH

Dalam sebuah buku berbahasa Indonesia, pernah disebut suatu syubhat yang menyesatkan orang awam yang tidak kritis. Penulisnya membawakan sebuah cerita tentang seorang syaikh berjenggot di Arab Saudi yang dalam memahami nash, serba kaku dan suka ngotot karena hanya berpegang pada zahirnya nash. Bahkan digambarkan, bahwa syaikh ini suka marah jika pendapatnya ditentang. Kebetulan, ia seorang buta.

Suatu ketika, datanglah seseorang kepadanya seraya membawakan sebuah ayat :

وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا

Secara sepintas, arti ayat di atas adalah: Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat kelak iapun akan buta. [al-Isra’/17:72].

Jika ia tetap memahami ayat ini menurut zahirnya, maka ia harus menerima kenyataan bahwa iapun akan buta nanti di akhirat, karena sekarang di dunia ia dalam keadaan buta. Maka terbungkamlah syaikh tersebut ketika di hadapkan pada ayat ini. Maksud penulis kisah di atas adalah untuk menjelaskan benarnya tindakan ta’wil (baca: tahrîf/merubah makna) terhadap makna ayat-ayat sifat Allâh Azza wa Jalla , dan menjelaskan batilnya pemahaman ayat-ayat sifat berdasarkan zahirnya.

Kesan sekilas yang tertangkap dari cerita di atas, apalagi jika dirangkaikan dengan tulisan sebelum dan sesudahnya, bahwa itulah gambaran tentang syaikh Salafi yang selalu berpegang pada zahirnya nash; pemarah, kasar, suka mempertahankan pendapatnya secara membabi buta, tetapi bodoh.

Dialektika semacam ini, merupakan hal lumrah bagi pengikut hawa nafsu untuk mempertahankan prinsipnya dan mengalahkan lawannya. Yang perlu dikritisi, sebelum memasuki persoalan sebenarnya yaitu persoalan memahami nash berdasarkan zahirnya, adalah sejauh mana kebenaran cerita itu. Tidak ada bukti, tidak ada data dan tidak ada sanad.

Barangkali, cerita itu sesungguhnya tidak ada, karena hanya cerita imajiner, dengan kata lain fiktif. Andaikatapun benar, mungkin syaikh yang dimaksud adalah orang tua buta biasa yang berjenggot, namun memiliki komitmen tinggi terhadap ajaran Islam yang benar, karena lingkungan telah membentuknya dengan taufiq Allâh Azza wa Jalla. Sehingga dengan keluguan orang desa, beliau mempertahankan keyakinannya. Sayangnya ia tidak memiliki cukup ilmu, sehingga manakala dipaparkan ayat di atas, ia tidak siap menjawab, karena ia bukan Ulama, hanya orang tua biasa.

Perlu difahami, di Arab Saudi, orang tua berjenggot seperti itu sering dipanggil syaikh. Bahkan zaman dahulu, pengusaha yang menampung jama’ah hajipun disebut syaikh, meskipun tidak berjenggot. Sekali lagi, itu jika kisah di atas sungguh-sungguh terjadi. Dan sekali lagi, sangat mungkin itu hanya cerita imajiner. Bagi para pengikut hawa nafsu, yang penting menang dalam mempertahankankan kesalahannya.

Sebenarnya jika orang buta yang diceritakan dalam kasus di atas adalah seorang penuntut ilmu syar’i (tidak perlu seorang syaikh yang sangat ‘alîm), tentu ia akan mampu memberikan jawaban.

Pertama, ayat itu terkait dengan sifat manusia, bukan sifat Allâh Azza wa Jalla. Dan manusia dengan sifat-sifatnya bukan termasuk hal ghaib, kecuali yang dialami nanti di akhirat.

Kedua, nash itu tetap difahami menurut zahirnya, dan tidak perlu merubah maknanya. Hanya saja orang perlu memahami pengertian zahirnya nash.

Arti Zahirnya Nash
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan pengertian zahirnya nash kurang lebih sebagai berikut:

Pengertian zahir nash ialah suatu nash yang maknanya langsung bisa difahami oleh fikiran seseorang, dan itu berbeda-beda maknanya menurut siyâq (alur masing-masing kalimat), dan menurut apa yang suatu perkataan disandarkan kepadanya.

Sebuah kata-kata yang sama, mungkin memiliki makna tertentu dalam sebuah alur. Tetapi memiliki makna yang lain dalam alur yang lain. Demikian pula, susunan suatu kalimat bisa jadi memiliki makna tertentu dalam sebuah konteks, tetapi mungkin memiliki makna yang lain dalam konteks yang lain.

Sebagai misal, kata-kata qaryah, makna asalnya adalah kampung. Ia kadang bisa berarti penghuni suatu kampung, dan kadang bisa berarti kampung itu sendiri yang menjadi tempat tinggal sekelompok orang. Tergatung konteksnya.

Contoh kata “qaryah” yang berarti penghuni suatu kampung, ialah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ مِنْ قَرْيَةٍ إِلَّا نَحْنُ مُهْلِكُوهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَوْ مُعَذِّبُوهَا عَذَابًا شَدِيدًا

Tidak ada penduduk suatu negeripun yang durhaka, kecuali Kami akan membinasakannya sebelum hari Kiamat, atau Kami azab (penduduk negeri itu) dengan azab yang sangat keras. [al-Isrâ/17:58]

Dari ayat ini seseorang langsung bisa memahami bahwa maksud kata”qaryah” yang dibinasakan atau diazab di sini adalah penghuninya, bukan kampungnya.

Sedangkan contoh kata “qaryah” yang berarti kampung tempat tinggal sekelompok orang, ialah firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ

Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini. [al-‘Ankabût/29:31]

Dari ayat ini seseorang langsung bisa memahami bahwa maksud kata”qaryah” di sini adalah tempat tinggal dari para penghuninya.

Contoh lain ialah ketika seorang manusia berkata (dengan bahasa Arab):

صَنَعْتُ هَذَا بِيَدَيَّ

Saya buat hal ini dengan dua tanganku.

Hakikat tangan dalam perkataan seseorang ini berbeda dengan hakikat Tangan yang disebut dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini :

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

Allâh berfirman:” Wahai Iblis, apa yang mengahalangimu hingga engkau tidak mau bersujud kepada (Adam) yang telah Aku ciptakan dengan dua tangan-Ku”. [Shâd/38: 75).

Mengapa hakikat dari masing-masing dua tangan itu berbeda? Sebab dalam perkataan yang pertama, kata-kata “dua tangan“, disandarkan kepada manusia, sehingga dua tangan itu adalah dua tangan milik makhluk yang serba lemah, cocok dengan kelemahan makhluk. Sedangkan “dua tangan” yang disebut dalam ayat, Surat Shâd: 75 tersebut, disandarkan kepada Allâh. Artinya dua tangan itu adalah milik Allâh Azza wa Jalla yang pasti sesuai dengan keluhuran dan keagungan Allâh Azza wa Jalla. Tidak ada seorangpun yang sehat akal dan sehat fitrah akan mengatakan atau meyakini bahwa tangan Allâh seperti tangan makhluk.

Contoh lainnya lagi adalah dua susunan kalimat, yang masing-masing terdiri dari unsur kata-kata yang sama persis. Tetapi berbeda maknanya karena letak dari unsur kata-kata pada masing-masing susunan kalimat, urut-urutannya berbeda.

Misalnya ketika seseorang mengatakan:

مَا عِنْدَكَ إِلاَّ زَيْدٌ

Sementara seseorang yang lain mengatakan:

مَا زَيْدٌ إِلاَّ عِنْدَكَ

Dari dua perkataan yang diucapkan oleh dua orang di atas, masing-masing memiliki unsur kata-kata yang sama persis seperti pada perkataan lainnya. Pada masing-masing terdapat (مَا), terdapat, (زَيْد ) terdapat, (إِلاَّ), dan terdapat, (عِنْدَكَ).

Tetapi karena susunan yang berbeda, maka maknanya pun menjadi berbeda. Pada susunan kalimat yang pertama, artinya: Di tempatmu tidak ada siapapun kecuali Zaid. Sedangkan pada susunan kalimat yang kedua, artinya: Zaid tidak berada di manapun kecuali di tempatmu.[1]

Dengan demikian, bukankah susunan kalimat dan konteks kalimat bisa merubah makna secara keseluruhan? Nah perubahan makna yang disebabkan oleh susunan kalimat atau disebabkan oleh konteks kalimat tersebut, apakah berarti menyimpang dari zahirnya perkataan? Apakah tidak sesuai dengan zahirnya? Begitu pula penyandaran suatu kalimat kepada sesuatu, juga akan merubah hakikat sesuatu, meskipun memiliki ma’na yang serupa, tetapi dengan hakikat yang berbeda.

Apa Pengertian A’mâ (أَعْمَى) Dalam Surat Al-Isrâ Ayat 72?
Terkait dengan ayat 72 Surat al-Isrâ yang dijadikan gagasan bagi lahirnya kisah imajiner oleh penggagasnya di awal tulisan ini, akan dikemukakan beberapa keterangan ahli tentang itu, apakah di dalamnya terdapat tahrîf (pengubahan maKna dari yang zahir kepada yang tidak zahir, yang mereka namakan sebagai ta’wil)? Ataukah tetap pada maKna zahirnya?

Ibu Manzhûr dalam Lisan al-‘Arab[2], materi kata: عمى antara lain membawakan perkataan al-Farrâ tentang firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا

Barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat kelak ia akan lebih buta (lagi) dan lebih tersesat dari jalan yang benar. [al-Isrâ/17:72]

Al- Farrâ mengatakan: “Yakni, (barangsiapa yang buta hatinya) terahadap kenikmatan-kenikmatan dunia yang telah Kami berikan kepada kalian, maka ia terhadap kenikmatan-kenikmatan akhirat akan lebih buta lagi dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.

Lalu Ibnu Manzhûr menyebutkan penjelasan al-Farrâ kaitannya dengan orang Arab ketika menggunakan fi’il tafdhîl (kata kerja yang menunjukkan lebih atau paling) termasuk kata a’maa (أَعْمَى) yang berbentuk tafdhil.

Beliau mengatakan:
Fi’il tafdhîl dalam kata ‘amâ (عمى) diperbolehkan (menjadi a’mâ), karena yang dimaksudkan bukan buta kedua mata, tetapi yang dimaksudkan -wallâhu a’lam- adalah buta hati. Sehingga diungkapkan kata-kata “fulân a’mâ min fulân fil-qalbi (fulan yang satu lebih buta hatinya daripada fulan yang lain). Tetapi tidak bisa dikatakan: huwa a’mâ minhu fil ‘a-inain (ia lebih buta matanya dari pada yang lain).

Maksudnya, kata a’mâ pada ayat di atas adalah fi’il tafdhîl, yang itu berarti menunjukkan buta hati, sebab tidak mungkin menurut al-Farrâ, buta mata diungkapkan dengan fi’il tafdhîl. Karena itu, kata a’mâ pada ayat di atas berarti buta hati. Jadi kata a’mâ tidak mutlak berarti buta mata. Apalagi siyâq dalam ayat di atas secara zahir menunjukkan bahwa maknanya adalah buta hati dan bukan buta mata. Orang yang buta matanya belum tentu buta hatinya. Sebaliknya orang yang buta hatinya belum tentu buta matanya”.

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhûr di atas adalah salah satu pendapat ahli tentangnya. Menurut para ulama mufassir yang lain, makna ayat tersebut juga berkisar pada buta mata.

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah membawakan perkataan Ibnu ‘Abbâs, Mujâhid, Qatâdah dan Ibnu Zaid sebagai berikut :

وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ

Adalah, barangsiapa yang buta hatinya dalam kehidupan dunia ini.

Penafsiran itu bukan berarti menyimpang dari zahirnya. Apalagi jika seseorang kemudian memperhatikan firman Allâh :

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

Sesungguhnya, bukan mata itu yang buta, akan tetapi hati yang ada di dalam dadalah yang buta. [al-Hajj22/:46].

Dengan demikian, sekali lagi, sesungguhnya Surat al- Isrâ/17 ayat 72 di atas, jika pengertiannya dibawa kepada makna “barangsiapa yang buta hatinya di dunia, tidak dapat melihat kebenaran serta nikmat-nikmat Allâh, maka dia di akhirat pun akan buta, tidak akan dapat melihat sinar yang membimbingnya menuju surga“, maka ini adalah pengertian zahir. Bukan pengertian “ta’wîl” yang maknanya diselewengkan dari zahirnya. Wallâhu A’lam.

Intinya, kata ‘amâ dan a’mâ bisa berarti buta mata dan buta hati, tergantung siyâq (alur kata) atau qarînah (petunjuk/alasan tertentu). Maka ayat tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk memaksa orang untuk memaknai ayat-ayat sifat Allâh dengan ta’wil yang mengubah ma’na sesungguhnya.

Wallâhu al-Muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1433H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâhi wa Asmâ-ihi al-Husnâ, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, tahqîq wa takhrîj: Asyraf bin ‘Abdul Maqshûd bin ‘Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah, Kairo, Cet. I, 1411H/1990M, hlm. 45, Qâ’idah ar-Râbi’ah min Qawâ’id fî Adillati al-Asmâ’ wash-Shifât.
[2] Lisan al-‘Arab, IX/409.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/52834-akidah-harus-dipahami-sesuai-dengan-zahir-nash.html